Asas aqidah kita sebagai umat Islam yang bermazhab yang ditunjukan oleh Imam Syafei RA. KIta juga yang berjamaah dengan Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Maka asas memperkukuhkan aqidah kita di perincikan oleh dua orang yang banyak menyumbang bagi memahami agama Islam, beriman dan mempunyai aqidah yang mantap:
1)
Sheikh Abu Hassan ‘Ali Al-Asy’ari
2) Imam
Abu Mansur Al-Mathuridi
Pecahan Sifat Dua Puluh:
1) Sifat Nafsiah
- Wujud
2)
Sifat Salbiah
- Qidam
- Baqa
- Muhkalafatuhu Lilhawadis
- Qiamuhu Binafsih
- Wahdaniat
3)
Sifat Ma'ani
- Qudrat
- Iradat
- Ilmu
- Hayat
- Sama'
- Bashar
- Kalam
4)
Sifat Manawiyah
- Kaunuhu Qadiran
- Kaunuhu Maridan
- Kaunuhu Aliman
- Kaunuhu Hayan
- Kaunuhu Samian
- Kaunuhu Basyiran
- Kaunuhu
Mutakaliman
Sifat Nafsiah:
Sifat
Nafsiah iaitu dari zat itu sendiri, bukan sifat yang menumpang pada
zat itu. Sifat ini dikatakan Nafsiah kerana tidak menunjukkan makna
yang menumpang pada diri zat. Menurut Jumhur Ulama’ sifat ini
menunjukkan kepada zatnya, bukan menunjukkan kepada perkara yang
menumpang pada zat Sifat
‘Wujud’ dikatakan Sifat Nafsiah ertinya, wujud itu bukan
merupakan sifat yang menumpang atau menempel pada Zat Allah s.w.t.
akan tetapi Zat Allah s.w.t. itu dengan sendirinya kewujudan Allah.
Ataupun
Zat Allah dengan Wujud Allah tidak dapat dipisahkan. Berbeza dengan
Sifat Ma’ani seperti Ilmu, kerana sifat ini merupakan sifat yang
menempel pada Zat Allah. Ertinya sifat Ilmu itu terpisah dengan Zat
Allah. Sebab Allah mengetahui sesuatu dengan Ilmu-Nya, bukan dengan
Zat-Nya. Hanya sifat ‘wujud’ sahaja yang termasuk dalam Sifat
Nafsiah.
Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua bahagi
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
Sifat
Salbiah:
Salbiah
maksudnya, menanggalkan, menolak ataupun menafikan. Maksud sifat
Salbiah dalam hal ini iaitu menolak sifat-sifat yang tidak layak bagi
Allah s.w.t. Umpamanya menolak sifat-sifat yang tidak layak bagi
Allah seperti Baqa’ ertinya kekal. Sifat ini menafikan sifat Fana’
ataupun binasa bagi Allah s.w.t.
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Sifat
Ma’ani:
Sifat
Ma’ani ialah sifat yang Maujud atau ada yang berdiri pada Zat Allah
s.w.t. yang menyebabkan Zat itu bersifat dengan suatu hukum Sifat
Ma’nawiyah. Umpamanya Sifat Ma’ani seperti Ilmu, sifat ini ialah
sifat yang berdiri pada Zat Allah. Ertinya Ilmu itu sifat Allah bukan
Zat Allah. Allah s.w.t. dapat mengetahui sesuatu dengan Ilmu-Nya
bukan dengan Zat-Nya. Yang menyebabkan zat itu bersifat dengan sifat
suatu hukum Sifat Ma’nawiyah maksudnya Allah dikatakan Kaunuhu
‘Aliman (Keadaan-Nya Berilmu). Kerana Allah mempunyai sifat Sama’
maka Allah dikatakan Kaunuhu Sami’an (Keadaan-Nya Mendengar).
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
Sifat
Ma’nawiyah:
Sifat
Ma’nawiyah iaitu suatu perkara yang sabit atau yang tetap bagi Zat
Allah s.w.t.bersifat dengan Sifat Ma’ani. Di antara Sifat Ma’ani
dengan Sifat Ma’nawiyah tidak terpisahkan. Misalnya Keadaan Allah
Berilmu (Kaunuhu ‘Aliman – Sifat Ma’nawiyah), ini kerana Allah
mempunyai sifat Ilmu (Sifat Ma’ani). Ataupun Allah s.w.t. dikatakan
Kaunuhu Qadiran (Keadaan-Nya Berkuasa – Sifat Ma’nawiyah) kerana
Allah mempunyai sifat Qudrat (Kuasa – Sifat Ma’ani) dan bergitu
seumpamanya.
Ada
beberapa sebab sifat-sifat ini dinamakan dengan Sifat Ma’nawiyah
iaitu, Sifat Ma’nawiyah merupakan cabang dari Sifat Ma’ani.
Sesuatu yang bersifat dengan ‘Alim dan Qadir umpamanya tidak boleh
bersifat dengan sifat-sifat itu melainkan setelah adanya ilmu dan
qudrat baginya. Sifat Ma’ani adalah sebagai ilat atau sebagai
malzum kepada Sifat Ma’nawiyah sejak Azali lagi, perhubungan antara
keduanya adalah sebagai hubungan antara ilat dengan ma’lulnya.
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
*********************************0000000*********************************************
Sifat Istighna:
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh
Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah = meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
SIFAT-SIFAT KERASULAN
Adapun sifat yang wajib bagi rasul itu empat (4) perkara dan yang mustahil padanya empat (4) sifat pula dan yang harus padanya satu (1) sahaja:
1. Siddiq, artinya Benar, lawannya Qizib, artinya Dusta yaitu mustahil
2. Amanah, artinya Kepercaan, lawannya Hianat, artinya Tiada Kepercayaan yaitu mustahil
3. Tabligh, artinya Menyampaikan, lawannya Qitman, artinya Menyembunyikan yaitu mustahil
4. Fathonah, artinya Cerdik Bijaksana, lawannya Biladah, artinya Jahil yaitu mustahil
Adapun yang harus padanya satu (1) sahaja, yaitu: ‘Iradul basariyyah, artinya Berperangai dengan perangai manusia yang tiada membawa kekurangan seperti makan, minum beranak, beristri dan sebagainya, lawannya tiada ‘Iradul basariyyah, yaitu Tiada Berperangai dengan perangai manusia yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena kita telah mendengar banyak sekali sejarah atau riwayat nabi semasa hidupnya, istimewa pula orang yang sudah berjumpa dengannya seperti segala sahabatnya seperti Abu Bakar dan sahabat yang lain dan begitu juga segala musuhnya seperti Abu jahal dan Abu lahab
dan ditambah lagi dengan empat (4) perkara pada rukun iman dan lawannya.
Maka jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam kalimah MuhammadurRasuulullaah
1. Percaya akan Malaikatnya, lawannya Tiada percaya
2. Percaya akan Kitab, lawannya Tiada percaya
3. Percaya akan segala Rasul, lawannya Tiada percaya
4. Percaya akan Hari Kiamat, lawannya Tiada percaya
Empat (4) sifat yang wajib bagi rasul dan empat (4) sifat pula yang mustahil padanya dan satu (1) sifat yang harus padanya, lawannya satu (1) pula, ditambah dengan empat (4) pada Rukun Iman dan lawannya empat (4) pula maka dijumlahkan semuanya jadilah delapan belas (18) Aqa’id yang terkandung didalam Sahadat Rasul, maka baharulah jadi Aqa’idul Iman enam puluh delapan (68) yang terkandung didalam Dua Kalimah Syahadat
************************************&&&&&*************************************
Sifat
yang Wajib bagi ALLAH:
1. Sifat WUJUD: Ada
Allah
s.w.t. wajib memiliki sifat
Wujud ertinya Allah s.w.t. itu wajib ada.
Allah s.w.t. adalah sebagai Zat yang Wajibul
Wujud ertinya
Zat yang wajib adanya. Wujudnya Allah s.w.t. tidak diragukan lagi,
kerana adanya Allah dapat dibuktikan dengan dalil Al-Quran dan
Al-Hadith (dalil naqal) dan dapat dibuktikan dengan akal (dalil
aqaliah. Allah
s.w.t. tidak ada yang menjadikan-Nya dan tidak pula Allah menjadikan
diri-Nya sendiri. Adanya Allah tidak diduhului dengan tiada dan tidak
diakhiiri dengan tiada. Dan mustahil Allah itu tiada. Wujudnya Allah
s.w.t. mutlak ertinya adanya Allah s.w.t. itu wajib, dan mustahil
jika Allah tiada ada. Kewujudan-Nya tidak dibatasi oleh sesuatu,
waktu, keadaan mahupun tempat Wajib
pada Syara’ atas tiap-tiap mukalah mengetahui serta mengaku didalam
hatinya akan tentu sungguh ada Allah Ta’ala dan tidak terima ‘Adam
(tidak ada). Pengakuan didalam hati dengan tentu ada sungguh Allah
Ta’ala itulah dinamakan wajib pada ‘aqal. Dan pengakuan tentu
tidak, tiada Allah Ta’ala itulah dinamakan mustahil.
2. Sifat QIDAM: Sedi
Qidam
ertinya ‘Sedia’, iaitu adanya Allah s.w.t. tidak dengan permulaan
dan mustahil bagi Allah kalau berpermulaan. Sebab jika Allah
berpermulaan bererti ada yang menjadikan dan jika sesuatu itu ada
yang menjadikan maka sudah pasti itu bukan Tuhan. Allah tidak beranak
dan tidak pula diperanakkan, kerana Allah Dia-lah yang awal dan
Dia-lah yang akhir,
Qidamnya
Allah, atau Allah itu dahulu atau sedia, ertinya adanya Allah itu
tidak bermula dan tidak berakhiran itu maksud tiada kesudahan bagi
Allah. Adanya Allah jelas dan nyata dan menguasai atas
segala yang batin atau mengetahui segala yang tersembunyi. Zat-Nya
tidak dapat disaksikan dengan mata begitu juga akal dan hati tidak
mampu untuk mengetahui tentang-Nya
Sifat
Qidam merupakan Sifat Salbiah, iaitu menafikan atau menolak sifat
yang berlawanan dengannya. Jika sudah terang dan nyata Allah bersifat
Qidam ertinya tidak berpermulaan, bererti sifat Qidam itu sendiri
menafikan sifat yang menjadi lawan dengannya, iaitu sifat Huduts atau
baharu. Adanya Allah sudah tentu semenjak dari zaman Azali lagi iaitu
sebelum segala sesuatu itu ada. Setiap insan wajib mengimani tentang
kewujudan Allah itu tidak berpermulaan dan tidak pula akan berakhir
Wajib
pada syara’ atas tiap-tiap mukalaf itu mengetahui serta mengaku
didalam hatinya akan tentu sungguh Sedianya Allah Ta’ala dan tidak
terima Huduth (baharu atau berpermulaan). Pengakuan didalam hati
dengan tentu sungguh Allah Ta’ala bersifat Sedia itulah dinamakan
dai wajib pada ‘aqal, dan pengakuan didalam hati dengan tentu tidak
baharu itulah dimanakan dia mustahil pada ‘aqal.
3. Sifat
BAQA’: Kekal
Allah
s.w.t wajib mempunyai sifat Baqa’,ertinya kekal ataupun tidak
berkesudahan, wujud Allah kekal untuk selama-lamanya, tidak ada
batasan waktu ataupun masa. Orang yang beriman kepada Allah menyakini
bahawa yang menciptakannya itu kekal tanpa berkesudahan, begitu juga
harus dipercayai oleh setiap insan bahawasanya kehidupan makhluk akan
berakhir dengan kebinasaan dan kehancuran, dan akan ia kembali kepada
Allah s.w.t. Yang Maha Kekal.
Dengan
mempercayai akan Allah mempunyai sifat Baqa’, ianya akan menguatkan
keyakinan tentang adanya kehidupan di akhirat, sebagai meneruskan
kehidupan di atas dunia yang fana’ ini. Kerana masih ada Pencipta
Yang Maha Baqa’ yang mengaturkan tentang kehidupan di akhirat
kelak
Wajib
pada syara’ atas tiap-tiap mukalaf mengetahui serta mengaku didalam
hati akan tentu sungguh Allah Ta’ala Kekal dan tidak menerima Fana’
(binasa). Pengakuan didalam hati dengan tentu sungguh Allah Ta’ala
bersifat Baqa’ itulah dikatakan wajib pada ‘aqal, dan pengakuan
tentu didalam hati akan binasa Allah Ta’ala itu mustahil pada
‘aqal.
4. Sifat
MUKHALAFATUHU LILHAWADITH: Berlainan dengan sekali makhluk
Allah
s.w.t. bersifat Mukhalafatuhu Lilhawadith, ertinya Allah berlainan
dengan sekalian makhluk. Sudah tentu mustahil bagi Allah menyerupai
akan sesuatu. Sebab Allah tidak sama dengan bentuk makhluk
ciptaan-Nya, baik makhluk yang bernyawa ataupun tidak bernyawa.
Berbeza Zat Allah dengan makhluk ertinya Zat-Nya tidak sama dengan
makhluk. Berbezanya sifat-safit Allah dengan makhluk ciptaan-Nya
maksudnya, sifat-sifat Allah tidak sama dengan makhluk.
Perbezaan
Zat Allah dengan sesuatu yang baharu maksudnya bahawa Zat Allah tidak
sama dengan benda lain yang diciptakan-Nya, yang memiliki zat yang
baharu. Berbeza sifat Allah dengan sesuatu yang baharu juga tidak
sama dengan sifat segala benda selain Allah. Begitu juga dengan
perbuatan Allah, tidak sama dengan perbuatan baharu atau segala benda
yang ada di alam ini
Jika
kita bayangkan Allah itu dengan sesuatu benda yang ada di alam ini
bererti kita telah mempersekutukan Allah dengan yang lain, syirik
hukumnya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dalam menghayati
sifat-sifat yang wajib bagi Allah ini, jangan sampai pemikiran dan
minda kita dipimpin oleh syaithan, sehingga sampai pada peringkat
mempersekutukan Allah. Na’zubillah.
Wajib
pada syara’ diatas tiap-tiap mukalaf mengetahui serta i’tiqad dan
mengaku putus didalam hati akan tentu sungguh bersalahan Allah Ta’ala
bagi segala yang baharu dan tiada menyamai-Nya (Mumathalatuhu
Lilhawadith). Firman Allah Ta’ala:
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura, 11)
Dan
bersalahan Allah Ta’ala bagi segala yang baharu dan juga tidak
menyamai-Nya itulah dikatankan sifat Mukhalafatuhu Ta’ala
Lilhawadith dan makna bersalahan itu tiga perkara:
1) Bersalahan
pada zat dengan makna Zat Allah Ta’ala bukannya Jirim yang
bertempat walaupun dimana tempat an makhluk itu semuanya jirim yang
bertempat. Kalau bergitu tidak boleh dikatakan Allah Ta’ala itu
bertempat dimana-mana tempat, maka jika didapati didalam Al-Quran
atau Hadith barang yang memberi waham menyerupai dan bertempat maka
dinamakan ayat itu ayat Mutashabihat dan Hadith Mutashabihat
2) Dan
bersalahan sifa itu ialah sifat-sifat Allah itu bukan ‘Aradh yang
bertangkap pada jirim dan bertempat bersama dengan jirim. Kalau
bergitu. Tidak bolehlah dikatakan Allah Ta’ala berhajat dimana-mana
hajat dan sebagainya daripada sifat-sifat yang baharu. Dan bersalahan
pada perbuatan itu ialah perbuatan Allah Ta’ala, bukan seperti
perbuatan yang baharu. Kerana perbuatan Allah Ta’ala menjadikan
yang tiada itu ada, dan bukan pula perbuatan Allah Ta’ala itu
daripada yang bahar
3) Dan
dalil bersalahan Allah Ta’ala bagi segala yang baharu dan tidak
menyamai itu ialah kita fikir, jikalau Allah Ta’ala tidak
bersalahan bagi segala yang baharu, nescaya adalah Ia menyamai dengan
sesuatu yang baharu ini, maka jika menyamai dengan yang baharu
tentulah Ianya baru seperti itu juga dan iaitu bathal kerana telah
terdahulu bersifat Qadim dengan dalil-dalil yang nyata maka tetaplah
Allah Ta’ala bagi segala yang baharu dan tidak menyamainya itulah
pengakuan yang sebenar.
5. Sifat
QIYAMUHU BINAFSIHI: Berdiri dengan sendiriNya.
Qiyamuhu
Binafsihi maksudnya berdiri dengan sendiriNya, bahawa Allah bersifat
berdiri dengan sendiri bukan bergantung dengan selain dari-Nya. Allah
tidak bergantung terhadap yang diciptakan-Nya, sebaliknya sesuatu
yang diciptakan-Nya itu setiap saat selalau berhajat kepada Allah
s.w.t.
Allat
s.w.t. tidak berhajat dan berkehendak terhadap sesuatu yang lain,
tidak memerlukan bantuan kepada makhluk-makhluk-Nya. Allah bersifat
Qiyamuhu Binafsihi, mustahil jika Allah berhajat dan meminta
pertolongan dengan alam yang akan binasa.
Allah
Maha Berkuasa memiliki segala apa yang ada dilangit dan bumi.
Kemudian tidak sukar bagi Allah untuk mengurusi segala sesuatu yang
ada di alam ini. Dia Maha Perkasa tidak pula Ia memerlukan bantuan
dalam mengurusi segala ciptaan-Nya yang banyak itu
Wajib
pada atas tiap-tiap mukalaf mengetahui serta mengaku didalam hati
akan tentu sungguh berdirinya Allah Ta’ala dengan sendirinya
(Qiyamuhu Binafsihi), dan tidak berkehendak kepada yang menjadi dan
tidak berkehendak kepada zat (Muhtajun Ila Ghairih).
6. Sifat
WAHDANIYAH: Allah Maha Esa (Ke-Esa-an)
Wahdaniyah
ertinya Allah Maha Esa, tidak berbilang-bilang jumlahnya. Esa Allah
Ta’ala itu ialah pada Zat-Nya, Sifat-Nya dan Af’al-Nya. Allah itu
Esa, maka janganlah sekali-kali kita membayangkan atau memikirkan
bahawa ada tuhan yang lain selain daripada Allah. Beriman kepada
ke-Esa-an Allah, memudahkan bagi kita untuk beribadah dan berharap
kepada Yang Satu.
Di
samping kita percaya bahawa Zat Allah s.w.t. itu Esa, kita juga harus
yakini bahawa sifat-sifat Allah itu mempunyai nilai yang tidak
mengenal batas. Jika dikatakan Allah itu Maha Pemurah, maka
pemurahnya Allah itu tidak mengenal batas. Jika Allah itu bersifat
Maha Pengampun, maka ampunan Allah itu tidak mengenal batas. Walau
betapa besar dosa dan kesalah nseseorang itu, jika Allah menghendaki
keampunan-Nya, maka dosa-dosa orang tersebut akan diampuni Allah
s.w.t
Dan
makna Esa pada Zat Allah itu ialah Zat Allah yang tidak bersusun
daripada beberapa Zat yang boleh dibilangkan dengan
sekurang-kurangnya bilangan dengan baharu, boleh dikerat, dibelah dan
dipotong seperti bagi zat yang baharu.
- Kam-mutashilZatBerbilangan yang berhubungan dengan Zat Allah Ta’alaSifatBerbilangan yang berhubungan dengan Sifat Allah Ta’alaPerbuatanBerbilangan yang berhubungan dengan Perbuatan Allah Ta’alaKam-munfashilZatBilangan yang berasing-asing pada Zat Allah Ta’alaSifatBilangan yang berasing-asing pada Sifat Allah Ta’alauatanBilangan yang berasing-asing pada Perbuatan Allah Ta’alaWajib pada atas tiap-tiap mukalaf mengetahui serta mengaku putus dalam hatinya akan tentu sungguh Allah Ta’ala itu Esa pada Zat-Nya, Sifat-Nya dan Af’al-Nya. Dan tidak Ta’addud (berbilang-bilangan).