Menasihati Diri
Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mahu mengambil nasihat. Siapa yang tak mahu mengambil nasihat dan keduanya itu, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan mahu pun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Rabbul Jallaluh. berfirman,
“Siapa yang menginginkan kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan
mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang
tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua
amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud:
15-16).
Berbicara tentang nasihat, aku
melihat diriku tidaklah layak untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti
zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri.
Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang
yang tak memiliki cahaya mana mungkin menjadi penerang kepada yang lain. Bagaimana
bayangan akan lurus jika kayunya bengkok? Allah Rabbul Jallaluh. mewahyukan
kepada Isa bin Maryam:
“Nasihatilah dirimu!
Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak,
malulah kepada-Ku.”
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang
diam.”
Allah Rabbul Jallaluh. menjanjikan
neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak
menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah
membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang
dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi
nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan
menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah
Rabul Jallaluh.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah
menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa
bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran.
Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan
kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian).
Kukatakan, “Pemberi nasihat yang
berbicara (Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam
(kematian), yakni ketika Allah Rabbul Jallaluh berfirman:
‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari
akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam ghaib.
Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian
kerjakan’
(Q.S. al-Jumuah: 8).
” Kukatakan padanya, “Engkau
telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan
mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan
merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat
dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang.
Allah Rabbul Jallaluh. Berfirman:
‘Bagaimana pendapatmu jika Kami
berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada
mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa
yang telah mereka nikmati itu.’
(Q.S. AsySyuara: 205-206).”
Jiwa yang merdeka dan bijaksana
akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang
lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia
dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu
hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Kerana, ia tak mau berusaha sama
sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia
juga tak mau berusaha mencari rida Allah Rabbul Jallaluh sebagaimana ia mencari
rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah
malu kepada Allah Rabbul Jallaluh sebagaimana ia malu kepada seorang manusia.
Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia menyiapkan
segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau.
Ia begitu gelisah ketika berada
di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan yang ia
butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim
dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi
musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perlengkapan
musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan-mu menghadapi panas?” Ia menjawab:
“Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan
kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai
dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban
yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan
tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada
segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak
tercegah.”
Aku termasuk di antara mereka.
Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas
tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran, maka yang paling
utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus.
Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga
aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh karena itu
berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat
manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Seandainya ada
orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan
mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia
akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala
sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah Rabbul
Jallaluh.
Jelaslah bahwa siapa yang
memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau
sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu
pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan
dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan
nasihat yang diberikan.
Rasulullah ﷺ ketika
beliau bersabda;
”Salatlah seperti salatnya orang
yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara
dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Rujukan: Al Ghazaly - Bidayatul Hidayah